Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Masih Perlukah Ujian Nasional?



Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis.
Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.
 
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di -UN-kan di sekolah dan di rumah.
 Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
Tahun ajaran ini yang menjadi tahun ajaran paling  menghebohkan bagi pelajar tingkat menengah, dimana ada peraturan hebat telah dibuat mereka-mereka petinggi di bidang pendidikan untuk mengubah sedikit standar kelulusan di sekolah tingkat menengah. Ini adalah wacana yang sebenarnya baru saja saya dengar , yaitu bahwa mulai tahun ajaran ini (2007/2008) standar untuk lulus Ujian Nasional mencakup 6 mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan.
 KONTROVERSI UJIAN NASIONAL
Pada penyelenggaraan UAN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik.
         Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang--pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.
        Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.
Itu tadi sekitar kilas balik dari ujian akhir yang telah beberapa tahun ini dilaksanakan di Indonesia. Dan sekarang ini untuk tahun ajaran 2007/2008 para petinggi pendidikan mengeluarkan sebuah rencana bahwa akan menetapkan 6 mata pelajaran yang akan di UN-kan. Ini merupakn fenomena yang benar – benar memberatkan siswa karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan secara instan. Mungkin karena kebijakan pemerintah ini akan menambah daftar panjang kecurangan maupun penyimpangan dalam Ujian Akhir Nasional.
Sebuah cita-cita keren menurut saya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia . Dimana pemerintah menginginkan pendidikan di Indonesia bisa seperti negara lain . Saya benar-benar berbangga diri jika yang demikian bisa terwujud. Saya salut dengan pemerintah yang berani mengambil keputusan ini.
Namun , Program pemerintah ini apakah akan berhasil jika tahun ini mulai diterapkan ? Pemerintah tidaklah sendirian dalam perjuangan ini . Dari pemerintah pendidikan pusat sampai siswa adalah semua faktor untuk mendukung upaya ini . Terutama bagi para siswa , merekalah yang sebenarnya sangat berperan dalam upaya ini. dari hasil kelulusan merekalah keberhasilan program ini bisa dilihat.
Mayoritas para siswa sangat keberatan untuk menghadapi Ujian Nasional yang 6 Mata Pelajaran ini. Mereka semua menganggap bahwa Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan standar kelulusan adalah satu cara instan yang salah . Pemerintah terlalu ngotot untuk memberlakukan aturan ini padahal kenyataanya sistim pendidikan di negeri kita ini masih banyak yang perlu diperbaiki.Salah satu kebijakan kontroversial adalah keputusan Mendiknas Nomor  017 Tahun 2003 mengenai Ujian Akhir Nasional (UAN). Kebijakan ini mendapat tantangan dari berbagai kalangan pendidik. Kalangan guru merasa dipotong haknya sebagai penentu kelulusan siswa. Selain itu siswa pun merasa hasil belajar mereka tidak dihargai karena penilaian hanya didasarkan pada nilai UAN. Meski hanya 3 mata pelajaran, tidak seperti Ebtanas yang bisa mencapai 7 mata pelajaran, kebijakan itu tetap saja menuai protes. Apalagi belakangan diketahui bahwa Depdiknas menggunakan tabel konversi untuk mengatrol nilai siswa yang rendah. Banyak yang menilai bahwa kebijakan UAN hanya cara mudah pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan memuat standar nilai kelulusan, diharapkan tidak semua siswa bisa lulus dan mutu lulusan pun meningkat. Padahal dengan kondisi Indonesia yang sangat beragam, tidak mungkin membuat sebuah standar yang sama dari Sabang sampai Merauke.
MASIH PERLUKAH UJIAN NASIONAL ?
Meski ujian pada akhir satuan pendidikan secara nasional merupakan kegiatan rutin, UAN (ujian akhir nasional) pada tahun 2004 menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Kontroversi tentang UAN diawali oleh munculnya penolakan sekelompok masyarakat terhadap kebijakan kenaikan batas kelulusan dari 3,01 pada tahun 2003 menjadi 4,01 pada tahun 2004. Pada tahun 2006/2007 kebijakan tersebut menjadi naik menjadi 4.51 dan pada tahun ajaran 2007/2008 manjadi 5.00 dengan 6 mata pelajaran yang harus di UN-kan.
Masyarakat berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 58 ayat 1 dan pasal 59 ayat 1). Sebagian berpendapat bahwa UAN berdampak negatif terhadap pembelajaran di sekolah, menghamburkan biaya, dan hanya mengukur aspek kognitif. Argumentasi lain adalah kondisi mutu sekolah yang sangat beragam sehingga tidak adil jika harus diukur dengan menggunakan ukuran (standar) yang sama.
Salah satu isu yang mendapat perhatian banyak pihak adalah kekhawatiran tentang kemungkinan banyaknya siswa yang tidak lulus (tidak dapat mencapai batas minimal 4,51). Berbagai survei pra-UAN dilakukan di sejumlah daerah yang menunjukkan proporsi siswa yang tidak lulus, cukup besar. Kekhawatiran itu tidak terbukti karena setelah hasil UAN diumumkan ternyata proporsi siswa yang tidak lulus, relatif kecil. Namun kebijakan konversi nilai UAN ini menuai kritikan. Salah satunya, tabel konversi nilai UAN dianggap sebagai upaya subsidi silang, menolong siswa yang kurang pandai dengan merugikan siswa yang pandai. Pendapat yang mendukung agar UAN tetap dipertahankan antara lain didasarkan kepada argumentasi tentang pentingnya UAN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional dan pendorong bagi pendidik, peserta didik, dan penyelenggara pendidikan untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan mutu pendidikan (prestasi belajar).                                                                        
Ujian sekolah itu mutlak diperlukan karena bisa mendorong para siswa belajar lebih serius dan juga berguna untuk mengukur keberhasilan proses belajar. Apakah ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa ataukah digabung dengan ujian akhir sekolah, sah-sah saja diperdebatkan. Dan wacana kebijakan pemerintah dalam menambah mata pelajaran dalam UAN menjadi 6 mata pelajaran pun sah – sah saja di perdebatkan, asal pemerintah mengimbangi kebijakan tersebut dengan melengkapi sarana maupun prasarana di seluruh sekolah secara merata.
Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan sekolah. Sebuah komunitas sekolah seharusnya merupakan learning society yang setia menjaga dan menghidupkan nilai-nilai unggul dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sekolah merupakan lembaga katalisator yang mampu memfasilitasi siswa menemukan dan mengembangkan bakat dan minatnya dengan disertasi nilai-nilai moral yang luhur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar